INDONESIA, SEBUAH NAMA UNTUK NEGARA

INDONESIA SEBUAH NAMA UNTUK NEGARA Oleh : Ki Damar Giri 16 Agustus 2021 ---- Arti Sebuah Nama Indonesia Nama adalah sebutan atau istilah yang digunakan sebagai penanda sesuatu sehingga dengan penanda tersebut, sesuatu dapat dibedakan dengan yang lainnya. Nama umunya mengadung makna tertentu serta mempunyai latar belakang yang mengikuti proses penandaan mengapa sesuatu itu diberi nama demikian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ditulis bahwa nama adalah kata untuk menyebut atau memanggil orang (tempat, barang, binatang, dan sebagainya) ataupun sebuah gelar atau sebutan kemasyuran, kebaikan, keunggulan dan kehormatan. Setiap nama yang diberikan, umumnya mempunyai arti dan makna tertentu yang ingin disematkan oleh pemberi sesuai alasan yang beraneka macam dan sangat luas. Selain mempunyai arti, nama juga mempunyai fungsi dan peranan dalam masyarakat, baik sebagai simbol pengikat maupun motifasi semangat perjuangan terhadap sesuatu yang ingin dicapai. Saussure menjelaskan bahwa nama diri termasuk satuan lingual yang disebut sistim tanda. Tanda merupakan kombinasi dari konsep atau petanda dan bentuk atau penanda. Dengan demikian, selain berfungsi sebagai penanda identitas, nama juga dapat berupa simbol. Seseorang atau sekelompok orang dalam memberikan nama sesuatu, akan didasarkan pada alasan-alasan tertentu sebagai acuan. Dan yang disebut acuan sering dikaitkan dengan referensi. Nama sebagai produk masyarakat akan dapat menjelaskan berbagai hal yang hidup dalam masyarakat tersebut. Socrates mengatakan bahwa pemberian nama harus sesuai dengan acuan. Acuan yang dipunyai seseorang atau sekelompok orang akan berbeda satu dengan yang lainnya sehingga dalam prakteknya akan ditemukan banyak jenis nama yang berbeda-beda. Menurut Chaers penamaan dan pendifinisian merupakan dua buah proses perlambangan suatu konsep untuk mengacu pada suatu referensi yang berada di luar bahasa. Berdasarkan pengertian tersebut, pemberian nama atau penamaan dapat dipengaruhi banyak faktor yang berada di luar bahasa. Hal inilah, yang ahirnya membutuhkan pendekatan “sociolinguistis”. Istilah Indonesia saat ini mempunyai pengertian politis untuk nama Bangsa dan Negara yang mempersatukan wilayah dari Sabang sampai Merauke. Dari Provinsi Aceh di ujung Barat sampai Papua di ujung paling Timur. Dilihat dari sisi latar belakang, Nama "Indonesia" berasal dari berbagai rangkaian sejarah, yang diawali dari penelitian geo-etnografis untuk penamaan suatu wilayah kepulauan diantara Indocina dan Australia, kemudian bergulir dalam idealisma para mahasiswa bangsa jajahan yang bersekolah negeri penjajahnya, sebagai identitas bangsa dan negara yang mereka perjuangkan. Dengan perkataan lain nama Indonesia yang semula merupakan istilah dalam bidang ilmu etnografis dan geografis, pada perkembangan selanjutnya digunakan untuk nama sesuatu yang bergerak dalam bidang politik. Indonesia, untuk nama Geo-etnografis Tentang Kepulauan di antara Indocina dan Australia, menurut catatan masa lalu, menyebutkan dengan aneka nama. Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan itu sebagai Nan Hai yang artinya Kepulauan Laut Selatan. Dalam kisah Ramayana karya Walmiki menceritakan bahwa Shinta, istri Rama, diculik Rahwana sampai ke Swarnadwipa atau Pulau Emas sebagai salah satu pulau yang terletak di kepulauan Dwipantara. Pulau Swarnadwipa diduga sebagai Pulau Sumatera sekarang. Selain itu dalam literatur Jawa abad 12, disebutkan kata Nusantara sebagai konsep kewilayahan yang dianut Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit mempunyai konsep kewilayahan Negara dibagi menjadi tiga anggota wilayah: 1. Negara Luhur merupakan kawasan sekeliling ibu kota kerajaan tempat raja memerintah, sebagai negara agung. 2. Mancanegara yaitu daerah-daerah di Pulau Jawa dan sekitarnya yang budayanya sama dengan Negara Agung, tetapi sudah berada di "daerah perbatasan". Dilihat dari sudut pandang ini, Madura dan Bali yaitu kawasan "mancanegara". Lampung dan juga Palembang juga diasumsikan kawasan "mancanegara". 3. Nusantara, yang berarti "pulau lain" di luar Jawa yaitu kawasan di luar pengaruh budaya Jawa tetapi masih diklaim sebagai kawasan taklukan, karena para penguasanya harus membayar upeti. Amukti Palapa yang diucapkan Gajah Mada pun menggunakan kata Nusantara sebagai wilayah yang ingin dikuasainya, seperti dalam sumpahnya, Gajah Mada mengatakan : “Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa”. Kata Nusantara’’ berasal dari bahasa Sangsekerta yaitu dibentuk dari kata "nusa" dan "antara" yang berarti kepulauan. Pada masa itu memang konsep kepulauan sudah mengemuka seperti halnya dikenal dengan nama "Talagaroa" atau Talaga Nan Luas. Sebenarnya para sejarawan percaya bahwa konsep Nusantara itu bukanlah pertama kali dicetuskan oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, melainkan dicetuskan lebih dari setengah abad sebelumnya oleh Kertanegara tahun 1275. Pada masa kerajaan Singasari dikenal pemikiran Cakrawala Mandala Dwipantara yang dicetuskan oleh Raja Kertanegara. Pemakaian istilah Dwipantara ini sejalan dengan catatan kuno bangsa India yang juga menamai kepulauan nusantara sebagai Dwipantara yang artinya Kepulauan Tanah Seberang. Dwipantara yaitu kata dalam bahasa Sanskerta untuk "kepulauan antara", yang ruang lingkupnya sama persis dengan Nusantara, sebab "dwipa" sinonim dengan "nusa" yang bermakna "pulau". Kertanegara memiliki wawasan suatu persatuan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara di bawah kewibawaan Singhasari dalam menghadapi kemungkinan ancaman serangan Mongol yang mendirikan Dinasti Yuan di Tiongkok. Karena gagasan itulah Kertanegara meluncurkan Ekspedisi Pamalayu untuk menjalin persatuan dan persekutuan politik dengan kerajaan Malayu Dharmasraya di Jambi. Yang menghidupkan kembali istilah Nusantara pada awal abad 20 adalah Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara, yang pada saat bersamaan memperkenalkan juga nama Indonesia dalam ranah politik. Memang suatu hal yang unik, kala itu Ki Hajar Dewantara mempopulerkan dua nama untuk negeri ini yaitu Indonesia dan Nusantara. Walaupun ahirnya nama Indonesia yang dipilih sebagai nama bangsa dan negara, tetapi nama Nusantara tetap populer. Dan terbukti hingga sekarang nama ‘’Nusantara’’ masih kerap digunakan oleh masyarakat untuk merujuk pada tanah air disamping nama Indonesia dalam pengertian politik untuk bangsa dan negara. Pemberian istilah yang berbeda tetapi mempunyai pengertian yang hampir sama, dicetuskan oleh Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli. Douwes Dekker pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan nusantara dengan "Insulinde". Nama Insulinde sendiri, juga mempunyai arti "Kepulauan Hindia" . Dalam bahasa Latin, "insula" berarti pulau dan inde dari Indus berarti Hindia. Namun nama "Insulinde" ini selanjutnya tenggelan dalam tumpukan litertur, walau pernah menjadi nama surat kabar dan nama organisasi pergerakan di awal abad ke-20. Wilayah yang sekarang di identifikasi sebagai Indonesia memiliki nama yang berbeda, seperti Hindia Timur di peta tahun 1855, juga bangsa Arab menyebut kepulauan itu sebagai Jaza'ir Al-Jawi atau Kepulauan Jawa. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samatha atau Pulau Sumatera, Sholibis atau Pulau Sulawesi dan Sundah atau Sunda. Tapi oleh orang Arab, semua itu disebut Kullu Jawi, semuanya termasuk Jawa. Mengapa wilayah Asia disebut Hindia oleh orang Eropa?. Penyebabnya karena bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa bangsa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia atau India. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara nusantara memperoleh nama yang pada waktu itu populer disebut Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago). Unit politik yang berada di bawah Pemerintah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Lain lagi pada saat Pemerintah pendudukan Jepang 1942 - 1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini. Asal-Usul Nama Indonesi Menurut asal usul kata, nama "Indonesia" dibangun oleh dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu Indus dan Nesos. Indus berarti India dan Nesos berarti Pulau atau Kepulauan. Jadi kata Indonesia itu berarti Kepulauan India. Yang dimaksud India dalam kata Indonesia tersebut bukan sebagaimana kita kenal negara India saat ini, tetapi Hindia sebagai mana anggapan orang Eropah terhadap Asia. Pada tahun 1847, di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, yaitu Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia atau Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur" (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan ( 1819 – 1869 ), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang bangsa Inggris, Samuel Windsor Earl pada 1813 menggabung diri sebagai redaktur Majalah JIAEA. . Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel berjudul “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations” atau Pendahulu Karakter dari Bangsa - bangsa Papua, Australia dan Melayu - Polinesia. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia. Pada halaman 71 dalam artikelnya berbahasa Inggris itu, jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berbunyi : "..Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia". Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia atau Kepulauan Melayu daripada Indunesia atau Kepulauan Hindia, sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon ( Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago atau Etnologi dari Kepulauan Hindia. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, sebab istilah Indian Archipelago atau Kepulauan Hindia, terlalu panjang dan membingungkan. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia keilmuan dengan tulisan Logan di halaman 254 yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berbunyi: "Mr Earl menyarankan istilah etnografi Indunesian, tetapi ia menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni Indonesia, sebagai sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia" Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Logan memungut nama Indunesia yang tidak dipakai Earl, dengan mengganti huruf " u" oleh huruf "o" agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Terlepas dari polemik pemberian nama antara Erl dan Logan, dari kedua pendapat diatas membukti -kan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah orang India, karena kata-kata indie, indu dan indo tetap dipertahankan untuk merujuk pada pengertian Indus, Hindus atau India, Hindia. Julukan itu tetap dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa. Pada tahun 1884 guru besar etnologi Universitas Berlin ber-nama Adolf Bastian, menerbitkan buku : “Indonesien Onder die Inseln des Malayischen Archipel” yang dalam bahasa Indonesia berbunyi “Indonesia atau Pulau-Pulau di Kepulauan Melayu, memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918 bahwa istilah Indonesia diciptakan oleh Adolf Bastian. Pramoedya Ananta Toer, dalam buku Sedjarah Modern Indonesia yang diterbitkan di kalangan terbatas pada 1964, menyebutkan nama James Rechardson Logan yang sebenarnya sebagai pencetus pertama istilah Indonesia. Dalam pengantar buku itu, Pramoedya menjelaskan tentang apa itu Indonesia. Dia menulis, "Sampai waktu yang lama, nama Indonesia dianggap ciptaan Bastian, sedang sebenarnya adalah ciptaan Logan. Menurut Pramoedya,sebenarnya ada dua orang yang 'terlibat' mencetuskan nama Indonesia. Pertama adalah George Samuel Windsor Earl dan James Richardson Logan. Pada mulanya Indonesia tidak lebih daripada sebuah istilah geografi, tapi dengan pasangnya gerakan kemerdekaan nasional non-koperatif kemudian menjadi juga istilah politik. Sebelum itu, mendjelang tutup abad ke-19, istilah ini telah djuga digunakan sebagai istilah hukum oleh Ir H van Kol dalam perdebatan-perdebatan di dalam Parlemen Belanda." Nama Indonesia dalam arti Politik. Pada tahun 1901, pemerintah kolonial Hindia Belanda menjalan-kan politik etis atau politik balas budi, sebagai reaksi dari sistim tanam paksa yang mendatangkan keuntungan berlimpah-ruah bagi penjajah tapi menjatuhkan kelembah kesengsaraan yang dalam bagi bangsa terjajah. Atas dasar desakan dari tokoh-tokoh humanis dan sosial demokrat di Belanda, ahirnya dijalankan politik Balas Budi yang dalam prakteknya pemerintah kolonial membuka kesempatan bagi bumiputera untuk mengenyam pendidikan, baik dengan bersekolah di Hindia Belanda maupun mengirimnya ke Belanda. Kebijakan tersebut menghasil-kan "Elit Baru Bumiputera" berpendidikan barat. Elit Baru inilah yang kerap berpikir kritis karena melihat realitas penderitaan yang dialami bangsanya dari tekanan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah geo-ethnologi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa untuk memperjuangkan kemerdekaan. Para mahasiswa dari Hindia Belanda yang mengenyam pendidikan di Belanda menyadari bahwa mereka adalah perantau yang hidup di negeri orang. Hal ini membuat mereka perlu mendirikan sebuah perkumpulan untuk saling berbagi cerita mengenai tanah air yang mereka tinggalkan. Perkumpulan ini kemudian terbentuk dengan nama Indische Vereeniging atau Perkumpulan Hindia yang didirikan oleh Sutan Kasayangan Soripada dan RM. Noto Suroto tahun 1908. Pendirian Perkumpulan ini juga diilhami oleh terbentuknya Boedi Oetomo yang berkembang di Hindia Belanda atas prakarsa para dokter dan mahasiswa Kedokteran dari STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) adalah Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi di Batavia pada zaman Hindia Belanda. Pada saat ini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Keanggotaan dari organisasi Indische Vereeniging tidak terbatas pada etnis tertentu, melainkan merangkul semua mahasiswa bumi putera di Belanda. Pada awal perkembangannya, indische vereeniging adalah sebuah perkumpulan yang bergerak dalam bidang sosial dan kebudayaan, namun selanjutnya organisasi tersebut lebih menjurus pada persoalan politik. Perkembangan sifat politis organisasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari kedatangan aktivis bumiputera yang dibuang ke Belanda pada tahun 1913. Mereka adalah tiga serangkai, yaitu Soewardi Soerya ningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker yang dibuang karena sebelumnya mengeritik pemerintah Hindia Belanda lewat pendirian sebuah partai bernama Indische Partij. Orang Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Ia mendirikan sebuah Biro Kewartawanan dengan nama Indonesische Pers Bureau. Nama Indonesische merupakan pelafalan Belanda untuk kata Indonesia, sebagai pengganti Indische atau Hindia yang dikenalkan oleh Prof Cornelis van Vollenhoven, selanjutnya kata “inlander” yang biasa digunakan sebagai panggilan merendahkan bagi pribumi diganti dengan kata Indonesiër atau orang Indonesia. Pada tahun 1922, Indische Vereeniging berganti nama menjadi "Indonesische Vereeniging. Perubahan nama ini juga mengubah sifat organisasi secara drastis. Organisasi yang dulu didirikan hanya sekedar untuk perkumpulan sosial dan budaya, berubah menjadi organisasi politik. Penggunaan kata Indonesia tidak lagi diartikan secara geografis, tetapi juga memiliki kekuatan politik. Perubahan nama menjadi Indo-nesische Vereeniging juga dibarengi dengan langkah radikal yang dilakukan organisasi tersebut. Dalam sampul buku "Gedenkboek Indonesiche Vereeniging 1908 - 1923, ditampilkan bendera merah-putih dengan kepala Banten ditengahnya. Gambar ini menjadi simbol nasionalisme para Mahasiswa Hindia yang berjuang di Belanda. Pemilihan istilah Indonesia disebabkan karena mereka tidak ingin dikenal sebagai kelompok berdasarkan etnis. Mereka juga membenci sebutan "Inlander" yang biasa dilakukan orang Belanda karena bernuansa merendahkan. Oleh karena itu, mereka menggunakan nama "Indonesia" yang menunjukan bahwa mereka bukan bagian dari Hindia Belanda atau Belanda. Dalam pernyataan azas yang disahkan tanggal 3 Maret 1923, pengurus perhimpunan menyata-kan bahwa kemerdekaan Indonesia berlandaskan pada semangat nonkoperatif atau menolak kerja sama dengan Belanda, sehingga segala simbul yang berbau Belanda pun mereka tinggalkan. Di Negeri Belanda inilah pertama kalinya gerakan nasionalisme radikal mengambil bentuk yang terorganisasi mendahului perkembangan di Hindia Belanda. Pada tahun 1922, atas inisiatif Mohammad Hatta, yaitu seorang mahasiswa Handels Hooge Schools di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda, yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging, kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Pada tahun 1924, nama organisasi kemahasiswaan di Belanda bernama Indonesische Vereeniging, tidak lagi menggunakan bahasa Belanda, ia berganti menjadi "Perhimpunan Indonesia". Hal ini semakin menguatkan keadaan adanya perlawanan mereka untuk menolak segala bentuk yang berbau Belanda. Perhimpunan Indonesia menjadi sebuah organisasi yang semakin berani setelah kepengurusannya diperkuat oleh Iwa Koesoemah Somantri, Mohamad Hatta, J.Sinatala dan Mohamad Mangoen Koesoemo. Salah satu kekuatan yang cukup besar dalam menggaungkan perlawanan mereka adalah penerbitan Majalah Hindia Poetra yang kemudian berganti nama menjadi "Indonesia Merdeka". Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga". Dengan kemunculan mahasiswa bumiputera yang berpikiran kritis seperti Mohamad Hatta, membuat Indische Vereeniging semakin berani menyelenggarakan kegiatan politik. Pemakaian nama Majalah Indonesia Merdeka seperti demikian, termasuk langkah berani, mengingat majalah tersebut diterbitkan di negara Belanda yang menjadi sasaran pergerakannya, apalagi Majalah Indonesia Merdeka menjadi corong propaganda Perhimpunan Indonesia untuk ekspose situasi politik dan pergerakan politik di Hindia Belanda. Dalam penerbitan tahun 1924, Majalah Indonesia Merdeka menjelaskan kepada para pembacanya mengenai perubahan nama tersebut. Mereka menyebutkan bahwa pemakaian "nama Indonesia" memberikan ciri pada kepribadian. Mereka tidak memakai nama India, Hindia (Indie, Indische) karena rancu dengan wilayah yang saat itu dikuasai Inggris sehingga dapat menimbulkan persoalan. Dengan kata Merdeka anggota Perhimpunan Indonesia mengungkapkan tujuan dan usaha mereka untuk menciptakan INDONESIA yang MERDEKA. Mereka menjelaskan bahwa setiap bangsa di dunia memiliki keinginan untuk merdeka dan bebas dari penjajahan. Pemikiran Global yang berkembang saat itu, tidak ada lagi "penjajahan manusia diatas manusia". Tidak ada " Explotation d'lome par lome" yang menurut Ir. Soekarno "exploitationn the nation by nation". Gagasan seperti itulah yang ingin dicapai Perhimpunan Indonesia dalam penggantian nama Majalahnya. Nama Indonesia semakin diperkenalkan di dunia Internasional. Pada tahun 1926, Mr. Mohamad Hatta menghadiri Kongres Gerakan Perdamaian Internasional di Paris. Melewati Kongres tersebut Hatta semakin meyakinkan dunia internasional mengenai keberadaan INDONESIA baik secara geografis maupun secara politis. Nama Indonesia berkumandang juga pada Kongres Anti Penindasan Imperialisme dan Kolonialisme di Brusel Belgia pada tanggal 10 sampai 15 Pebruari 1927. Nazir Datuk Pamuntjak sebagai perwakilan Perhimpunan Indonesia berpidato dengan judul " Indonesie en de Vrijheid Strijd atau Indonesia Dalam Perjuangan Kemerdekaan. Dalam Surat Kabar "De Socialist" nomor 10 tahun 1928, Mohamad Hatta menulis sebuah artikel yang berjudul "Tentang Nama Indonesia" . Di dalamnya membahas penggunaan nama Indonesia menggantikan Hindia Belanda. "Bagi kami orang Indonesia, nama Indonesia mempunyai arti politik dan menyatakan suatu tujuan politik. Dalam arti politik, karena dia mengandung tuntutan kemerdekaan, bukan kemerdekaan Hindia Belanda, melainkan kemerdekaan Indonesia dari Indonesia (indonesische indonesie'). Mustahil Negara Indonesia merdeka yang akan datang, disebut Hindia Belanda. Juga tidak India, karena akan dikacaukan dengan India yang lain, yaitu nama resmi dari India Inggris sekarang". Tulis Mohamad Hatta dalam artikel tersebut. Perubahan nama ini juga mengubah sifat organisasi secara drastis. Organisasi yang dulu didirikan hanya sekedar untuk perkumpulan sosial dan budaya, berubah menjadi organisasi politik. Penggunaan kata Indonesia tidak lagi diartikan secara geografis, tetapi juga memiliki kekuatan politik. Pemakaian nama Indonesia di Tanah Air Penggunaan nama " Indonesia" juga berkembang di Hindia Belanda. Buku Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, karangan J.Th Petrus Blumberger terbitan tahun 1931 mencatat bahwa sejak tahun 1920-an di Hindia Belanda berkembang pergerakan nasional yang sudah menggunakan nama Indonesia. Penggunaan nama Indonesia bagi pergerakan nasional di Hindia Belanda, salah satunya didorong oleh kembalinya para aktivis mahasiswa yang dulunya berhabung pada Pehimpunan Indonesia. Selanjutnya banyak muncul organisasi nasional yang mengunakan nama Indonesia, seperti tahun 1927 muncul Perserikatan Indonesia yang kemudian menjadi Partai Nasional Indonesia tahun 1928 (PNI). Selain menggunakan nama Indonesia juga muncul perubahan sifat organisasi, yang semula terbatas golongan tertentu menjadi organisasi terbuka untuk semua kalangan. Awal perkembangan pemakaian nama Indonesia di tanah air, ketika Dr. Sutomo mendirikan IndonescheStudie Club pada tahun 1924, tahun itu juga Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) mengganti nama Partai dengan menggunakan nama Indonesia dibelakang nama Partainya. Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Kongres tersebut menghasilkan rumusan yang dikenal Soempah Pemoeda, yakni pengakuan akan tumpah darah yang satu, yaitu tanah Indonesia, pengakuan berbangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia dan menjungjung bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad atau Dewan Rakyat yaitu Parlemen Hindia Belanda, Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerin-tah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Walaupun Permohonannya ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda, tapi setidaknya menunjukkan ada gerakan pemakaian nama Indonesia di tanah air. Dengan adanya pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda". Sampai ahirnya Berkat Rakhmat Allah Subhanahu Wata’ala pada tanggal 17 Agustus 1945, terjadi Proklamasi Kemerdekaan yang melahirkan Negara Republik Indonesia. Resmilah Indonesia menjadi nama Negara Republik yang kita Cintai. ***

Komentar